10.1.11

Belajar dari Kang Abik (1)

Masjid Kampus UGM (06/01). Ini pengalaman saat menghadiri talkshow “Pencerahan & Budaya” yang diselenggarakan oleh Takmir Masjid Kampus UGM, Jama’ah Sholahuddin UGM, dan Forum Lingkar Pena (FLP) DIY. Acaranya sekaligus launching film terbaru kang Abik (sapaan Habiburrahman el-Shirazy), yang disandur dari novel beliau “Dalam Mihrab Cinta” (DMC). 
Talkshow-nya menghadirkan kang Abik (sebagai sutradara) berserta dua pemeran dalam film DMC, yaitu Asmirandah (Silvi) dan Boy Hamzah (Burhan). Meski talkshow-nya bertajuk “Pencerahan & Budaya”, namun sepanjang sesi memang lebih banyak memaparkan tentang film DMC. Pun begitu, tidak juga mengurangi esensi dari judulnya semula.
Kang Abik sendiri menjelaskan bahwa, film merupakan sarana propaganda yang cukup efektif. Sejak pertama kali ditemukan, orang-orang Yahudi sudah memanfaatkannya untuk menyebar propagandanya. Islam hanya “sedikit” terlambat menyadarinya. Alhamdulillah, kini mulai muncul banyak orang yang peduli dan menyadari potensi besar film sebagai propaganda pencerahan Islam.
Film DMC merupakan karya ketiga kang Abik yang diangkat ke layar lebar. Sebelumnya ada Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang waktu itu beliau hanya berperan sebagai penulis. Kemudian dilanjutkan dengan dwilogi Ketika Cinta Bertasbih (KCB) 1 & 2. Di film KCB, kang Abik mulai terjun langsung dan terlibat dalam pembuatan film, termasuk ikut meng-casting para pemerannya. Sedangkan di DMC, kali ini beliau berperan langsung sebagai sutradara di bawah supervisi dari sutradara KCB, Chaerul Umam.
Perjalanan kang Abik di atas menggambarkan sebuah proses dalam pewacanaan budaya Islam lewat propaganda film. Dari yang awalnya kang Abik hanya sebagai penulis, hingga kini menyutradarai sendiri film dari novel beliau. Ini mengingat tidak sedikit kekecewaan dari para fans novel beliau terhadap film yang diangkat dari novel beliau. Terutama saat beliau hanya berperan sebagai penulis semata.
Kang Abik memberi inspirasi untuk jangan lelah belajar. Menamatkan kuliah dari jurusan hadits, Universitas al-Azhar, Mesir, tak menyurutkan semangat kang Abik untuk menekuni dan terjun di dunia sastra. Hingga saat ini, merambah ke dunia perfilman. Tentu terlihat kontradiktif antara latar-belakang dengan pekerjaan beliau saat ini. Tapi kang Abik mengatakan, “Semua ini saya lakukan untuk beribadah kepada Allah. Dan saya tidak takut menulis meskipun isi dari tulisan-tulisan saya bernuansa dakwah Islam”.
(soran ibrahim/bersambung)

4.1.11

PNS = Pelaku_Nya Saya!

Pernah kepikiran buat jadi PNS? Entah kenapa saat ini aku mulai memupuskan impianku tentang jadi PNS atau pegawai negeri saja :). Keluargaku memang beberapa jadi PNS, dan masuk kategori sukses, Alhamdulillah. Sesukses apapun mereka itu, itu juga bukan karena PNSnya. Lebih pada kegigihan dan kerja-keras yang telah dilakukan.
Aku pernah baca sebuah tulisan pendek, isinya secara singkat menyatakan bahwa ngebet jadi PNS hanya karena dengan begitu hidup jadi lebih aman, terjamin, dsb adalah musyrik! (Na'udzubillah). Yup, menyandarkan sesuatu pada selainNya sama saja telah menduakanNya. Dan biasanya kita (kita? elu aja kali gue ga :P) ga sadar telah melakukan itu. Itu udah keluar dari prinsip tawakal.
Aku lebih percaya bahwa rezeki tiap orang itu udah dijatah sama Dia. Ga usah pusing, karena aku tinggal ambil aja. Caranya? Ya berusaha donk, masa mau nunggu uang tiban!? (Ngimpi... wkwkwk). Dan hidup itu ga musti terjamin dengan jadi PNS. Aku sendiri lebih cocok untuk kerja yang menghasilkan karya. Aku ga suka kerja yang statis. Lebih suka yang dinamis. Kerja kantoran, jadi PNS gitu, beh... cape' deh. Rutinitas berulang 5 x 12 jam!
Tapi bukan berarti jadi PNS = harom. Seorang ustadz pernah berkata, jangan berniat jadi Pegawai Pemerintah, tapi bila ada kesempatan yang menghampiri, ambillah. So, maksudnya, kalo kesempatan itu yang mendatangiku, sikat aja! Gak ngebet banget, tapi kalo ditawari ya ayo! Ini bukan munafik, tapi lebih pada melihat kualitas diri. Masa kualitas ecek-ecek mau jadi pegawai pemerintah, apa kata dunia!? (woot)
Aku tumbuh sebagai orang yang lebih suka berkarya. Tau bedanya berkarya dan bekerja. Menurut Syauqi (mantan pinumku dulu), bekerja itu seperti binatang. Kadang hanya asal bergerak, tanpa diiringi berpikir. Disuruh A ya A, diminta B ya B. Sedangkan berkarya itu lebih menggunakan akal dan hati. Dan karena hasrat darah seni yang mengalir dalam nadiku (cie...), maka berkarya lebih tepat untukku. Menghasilkan mahakarya demi mahakarya. Itulah prinsip hidupku. Hidup itu berkarya. Berkarya yang terbaik untuk agama, bangsa, dan keluarga.

Bi'idznillah...