13.11.11

The Jar-Sos (Jejaring Sosial) ~bagian satu~



Berasa aneh aja.
Saat ini kita hidup di era jejaring sosial. Hampir setiap orang punya akun di dunia maya. Entah itu di "mukabuku", di "cuitter", di "pluk", hingga yang terkini "gugelples".
Realita jejaring sosial. Memaksa kita untuk eksis, mendorong peningkatan penggunaan internet. Dulu orang-orang berjarsos (jejaring sosial--red) via warnet. Sekarang via HP saja, sudah bisa log-in mukabuku, cuitter, dll. Ditambah lagi, modem yang kini ngtrend bak kacang goreng.

Jarsos selayaknya digunakan sesuai fungsinya. Yaitu membangun relasi. Bukan sekedar untuk hura-hura. Mungkin ada yang menggunakannya just for fun. Tapi alangkah ruginya. Jarsos merupakan sarana untuk bertemu dengan orang lain yang baru saja dikenal saat itu juga. Jarsos memungkinkan untuk bertemu dengan teman lama, atau saudara jauh. Seolah memperpendek jarak komunikasi untuk menyambung tali rahim.

Lebih dari sekedar itu. Jarsos efektif untuk membangun network. Network di sini bukan network dalam bahasa komputasi. Tapi jaringan. Ya, jaringan dengan relasi-relasi yang dengannya kita bisa berbagi manfaat. Jaringan kerja, jaringan info beasiswa, jaringan teman di tempat yang jauh, dan sebagainya. Jarsos efektif untuk membangun jaringan itu. Karena itu dunia akan mengolok rugi bila jarsos digunakan just for fun.

Jauh ke depan, jarsos juga bisa jadi sarana untuk saling mencerahkan, saling menasihati, saling berbagi. Kalo kita sudah sampai pada fungsi yang ini, maka akhirat takkan mengolok rugi pada kita. Ya, jarsos sebagai investasi afterlife kita. Untuk memperoleh pahala dan ridhoNya. Maka rugi dunia-akhirat bila jarsos dipakai just for fun.

Karena banyaknya varian jarsos yang kini tersedia, alangkah bijak bila kita bisa memilih dan menggunakannya secara proporsional. Saya pribadi memiliki akun di "mukabuku". Tujuan saya adalah berkomunikasi dengan teman lama, maupun saudara yang berada jauh. Saya juga memakai "cuitter", sebagai sarana membangun relasi dengan orang-orang hebat di bidang yang saya tekuni.

Selain kedua jarsos itu, saya memilih membuat akun di DA (DeviantArt). Karena saya seorang seniman, dan saya rasa DA adalah jarsos yang tepat untuk mengembangkan, berbagi, dan belajar dalam mendalami bidang kesenian dan kreativitas. Di samping DA, saya juga bergabung di MT (Minitokyo). Jarsos khusus para peminat anime dan kultur Jepang, yang juga memfasilitasi para seniman wallpaper. Bedanya dengan DA, MT lebih spesifik pada anime. Di sana juga menyediakan resources yang dibutuhkan para waller*.
Baik DA maupun MT merupakan tempat saya belajar dan menjajal kemampuan saya di bidang seni. Karena pilihan saya adalah menjadi seniman, seniman beriman. Maka kedua jarsos itu pas untuk saya. Sedang "mukabuku" untuk komunikasi dengan rekan, teman, saudara yang jauh, sementara "cuitter" membantu saya mengutarakan gagasan-gagasan saya dalam 140 karakter. "Cuitter" menantang dengan keterbatasan karakter, dan jadi media saya belajar copywriting.

Maka memang indah bila jarsos diletakkan sesuai fungsinya. Itu juga alasan kenapa saya ogah ng-"Pluk". Karena tidak ada manfaatnya buat saya. Cukuplah beberapa akun itu saja, dan berusaha mengoptimalkannya. Untuk dunia, juga untuk akhirat. Salam seniman beriman!

Midnite after rainfall, dua hari pascahari berkurban 2011,
kampung kecil, sebuah kota berbudaya Jawa lekat.

*) waller adalah para pembuat wallpaper

7.11.11

Slice is Very Something


Slice adalah irisan.
Setiap pertemuan yang kemudian aku atau kamu terlibat lebih jauh, akan memunculkan slice. Bagiku, tidak setiap pertemuan menghasilkan slice. Hanya pertemuan yang berlanjut pada interaksi demi interaksi hingga terjadi proses perkenalan yang panjang. Baru muncullah slice. Karenanya sekedar tahu nama, atau tahu wajah semata takkan menghadirkan slice antara aku dengannya.

Slice adalah singgungan.
Aku punya banyak slice dalam hidupku. Setiap pertemuan, yang kemudian intim aku bersinggungan dengan tiap persona, maka di sana ada slice antara aku dan mereka. Aku punya slice dengan teman-temanku, teruntuk lebih yang dekat denganku. Setiap urusanku, pasti ada sangkutan dengan mereka pula. Aku punya slice dengan rekan-rekanku. Mereka yang satu medan juang denganku, tentu ada slice yang istimewa. Aku punya slice dengan para "playgroup"*-ku. Mereka yang membuatku paham akan ini semua. Bahwa inilah alasan Tuhan mencipta manusia dalam beragam suku, etnis, ras, kebudayaan, latar-belakang, bangsa.. semata adalah agar mereka (manusia) saling mengenal satu dengan yang lain.

Ya.. slice adalah saling mengenal.
Karena itu aku bilang, tak cukup kenal nama. Tak cukup tahu wajah saja. Slice hadir ketika aku kenal mereka lebih jauh. That's slice within life. Slice of relation. Aku suka menyebutnya demikian, slice. Seperti roti. Yang yummy ketika emang terbagi cukup untuk semua. Kegembiraan yang muncul, itulah yang membuatnya semakin enak. Begitulah slice.

Slice adalah saling kebermanfaatan.
Manusia terbaik itu adalah ia yang paling bermanfaat bagi yang lain. Ada satu judul anime, Hakuouki Shinsengumi Kitan, yang mengisahkan tentang seorang gadis bernama Chizuru Yukimura. Yang menarik dari karakter ini, dia adalah satu-satunya perempuan di markas kesatuan Shinsengumi. Satu yang aku tangkap dari karakterisasi Chizuru, ia seorang yang ingin bermanfaat bagi Shinsengumi, bagaimanapun kondisinya. Kisahnya benar-benar membuatku terngiang perkataan sang Rosul. Di tiap slice, ada peluang untuk tebar-bagi kemanfaatan. Karena itulah kita ber-slice dengan yang lain.

Semakin banyak slice, semakin membuatku harus membuat putusan dengan lebih bijak. Setidaknya belajar untuk bijaksana. Pernah sekali waktu, aku terpikir untuk pergi. Pergi meninggalkan kota tempat aku tumbuh besar ini. Aku kadang iri. Iri pada mereka, yang (seolah) leluasa pergi keluar kota dalam alasan apapun. Sedangkan aku? Aku terikat oleh masing-masing slice-ku. Seorang kawan berujar padaku, "Kau ini nampaknya tak pernah beri ruang untuk dirimu sendiri. Sekali-kali pikirkanlah tentang awak kau. Pergilah berlibur, barang satu atau dua pekan. Tinggalkan sejenak pikuk di kotamu itu".

Senyum simpul ku berikan padanya. "Tidak semudah itu", jawabku. Ya, karena realitanya tak semudah itu. Aku punya (banyak) slice. Aku perlu berpikir tentang para binaan "playgroup"-ku. Aku perlu memikirkan mereka yang membersamaiku di medan juang. Aku perlu.. Aku butuh.. Aku harus.. ya begitulah kawan. Tak seringan dalam lisan. Tak cukup landai untuk berlari dalam menunai. Karena itu perlu, butuh, dan harus dipikirkan dulu. Aku tak bisa serampangan. Aku tak boleh ceroboh. Aku harus bersiap.

Ketika memang takdir berkata lain. Bahwa kotaku ini harus kutinggal. Maka bersiap lebih awal harus dimulaikan. Aku harus berkomunikasi dengan mereka. Yang mengikatku dalam slice. Menyiapkan "playgroup"ku untuk kutinggal, bicara dengan santai namun santun pada para rekanku di medan juang, dan bicarakan dengan guru tempatku melingkar. Aku hidup dalam lingkaran slice. Yang tak boleh semena-mena aku terhadapnya. Maka izinkanlah aku, wahai para slice -yang bersinggung denganku-.

Untungnya tidak sekarang, jadi masih ada waktu buat bersiap. Intinya, slice is "very something". Diriku ada, karena singgunganku dengan tiap slice. Slice telah membuat eksistensiku nyata. Karena itu, aku berterima-kasih pada tiap slice-ku. Dari mereka aku banyak belajar. Dari mereka aku bisa berbagi. Dari mereka aku semakin dewasa. Semakin dewasa dalam memutuskan pilihan. Pilihan adalah hidup itu sendiri. Dari slice-ku aku bisa bijak dalam menentukannya. Maka benarlah bila slice is very something!
~Alhamdulillah ya..? :)

Sehari setelah festival of sacrifice 1432-Hijriy
selepas waktu isya'..
masih di kota istimewa pro penetapan (katanya:)

*) playgroup adalah sebutanku untuk komunitas melingkar yang aku ada di dalamnya. komunitas pekanan, tempat belajar dan berbagi. penuh kehangatan, senyum merekah, dan ilmu-wawasan. cobalah kawan! ;)

9.10.11

お久しぶり
















Ohisashiburi...
it's been a while.. ternyata aku lama ga blogging.. hahaha :D

Bukan mau apologi kalo terlalu sibuk di dunia nyata,
Bukan mau cari alasan kalo terlalu memikirkan dunia asli,
Bukan pula mau mangkir dari kemalasan menulis,
:P

Tapi, memang it's been a while...
Orang Jepang bilang, "Ohisashiburi desu ne..."
Emang, udah lama ga nulis.

Bukan bingung apa yang mau ditorehkan,
Bukan tak menahui apa yang hendak diutarakan,
Bukan pula mau memungkiri kenyataan tidak ada ide,
:P

Tapi, memang it's been a while...
Kalo saja dunia bercuit-cuit tiada ku sambangi,
Bilamana aku tiada bertemu dirinya,
Dan apatah jadinya jika tiada menemukan sambungan-
sambungan ke orang-orang hebat..

Bukan karena mereka juga,
Bukan sebab kerinduan pula,
Bukanlah diri ini berpura-pura,

Tapi, memang it's been a while...
lama aku tak menulis...
:)

Kota Berwalikota Hati,
Hari Sembilan, Bulan Sepuluh, Tahun Sebelas
^nih tanggal kok ciamik banget yak? 
*ada yang mau jadiin itu tanggal jadian sama aku?
(ngimpi loe!)

17.3.11

Invisible but Can be Felt


Coloring The New Love
Sederhana mungkin. Tapi begitulah sejatinya cinta. Cinta itu adalah kebahagiaan. Dan kebahagiaan itu tidak dapat dideskripsikan dengan sebuah warna. Tapi itu bisa dirasakan.

Cinta yang baru. Bukan cinta yang sudah berwarna. Merah. Biru. Kuning. Hijau. Bukan itu. Tapi cinta yang baru adalah putih. Selayaknya kanvas. Sebagaimana kertas HVS. Maka kitalah yang akan membuatnya berwarna. Dan tak hanya satu. Dua. Atau sepuluh warna. Tapi warna yang tiada batas, yang akan kita lukis. Di sana. Di cinta yang baru.

Cinta yang baru. Awal sebuah cerita. Sebuah lembaran baru. Dalam potret kehidupan insani.

Nantilah dengan sabar, hingga DIA menyampaikan kita pada itu. Itu adalah cinta yang baru. Baru bersemi. Baru bertaut. Baru saja disatukan.

Bahagia merayakan cinta.. saat panen menuai.

28.2.11

Serial of Communication: The Root is Communication












Belum lama ini, aku mendengar berita miring tentang sikap tidak amanah seorang ikhwan. Atas berita itu, aku merasa kecewa kepada ikhwan tersebut. Aku menjadi tidak respek padanya. Aku terus ‘ngedumel’ dalam hati. Kok bisa ya, padahal jenggotnya panjang, istrinyapun memakai jilbab lebar. Aku terus berpikir, penampilan dan cara berpakaiannya menunjukkan sang ikhwan paham agama. Kok sampai?
Cukup lama aku tenggelam dalam pikiran buruk tentang ikhwan itu. Hingga akhirnya, Allah mempertemukan kami dan kami terlibat perbincangan cukup lama (tentu saja ikhwan tersebut didampingi istrinya). Dari perbincangan itu, rasa respekku yang memudar akibat berita miring itu, perlahan-lahan tumbuh lagi. Dan tak henti-hentinya aku beristighfar di dalam hati di sela-sela perbincangan kami.
Akupun bersyukur kepada Allah. Dengan skenarioNya, Allah melindungiku dari prasangka buruk yang berkelanjutan terhadap saudara seiman. Dan atas kehendakNya, Allah bersihkan ikhwan tersebut dari segala dugaan-dugaan yang tidak benar melalui ‘perbincangan’ kami. Karena dari perbincangan itulah, aku jadi lebih paham tentang dirinya, bahwa sesungguhnya orang-orang salah sangka terhadap ikhwan ini.
(
eramuslim.com)
***
Sederhana. Semua masalah dalam kehidupan ini, sejatinya hanyalah masalah komunikasi. Itulah kenapa komunikasi merupakan fitrah kebutuhan primer manusia. Manusia yang juga disebut makhluk sosial, takkan mampu bertahan dalam rimba kehidupan tanpa adanya komunikasi. Namun, karena sederhana itu, tidak sedikit yang menyepelekan masalah komunikasi ini. Coba kalau setiap orang sadar akan akar masalah ini, tentu semua bisa berjalan dengan lebih cantik dan mulus (bi'idznillah).
-
Bahkan dalam Qur'an, telah menyebutkannya. Setidaknya, saya telah menemukan dua ayat yang mengandung kata "tabayun", klarifikasi terhadap suatu masalah. Maka tidak aneh sebetulnya, bila kita mau memperbaiki komunikasi maka relasi kita dengan sesama akan menjadi lebih indah. Ibnul Qoyyim mengatakan dalam setiap gesekan antarindividu, ukhuwwah adalah pelumasnya. Tetapi, dalam ukhuwwah tetap dibutuhkan sebuah komunikasi yang positif dan sehat. Membicarakannya baik-baik. Itu sebuah solusi jadul (kalau boleh saya bilang) yang sudah kerap diulang-ulang. Akan tetapi, dalam realita ini sulit diwujudkan. Ego. Itulah yang masih menghalangi kita untuk menemukan kesepahaman melalui komunikasi.
-
Tak kenal maka tak sayang, tak kenal maka ta'aruflah. Jargon baru era abad 21 itu bisa menjadi awalan memulai komunikasi yang positif dan sehat. Komunikasi bisa menumbuhkan kekuatan kultural yang baik, yang mampu memberi energi positif terhadap setiap aktivitas dan problema hidup kita. Tidak percaya? Coba saja (to be continued...)

10.1.11

Belajar dari Kang Abik (1)

Masjid Kampus UGM (06/01). Ini pengalaman saat menghadiri talkshow “Pencerahan & Budaya” yang diselenggarakan oleh Takmir Masjid Kampus UGM, Jama’ah Sholahuddin UGM, dan Forum Lingkar Pena (FLP) DIY. Acaranya sekaligus launching film terbaru kang Abik (sapaan Habiburrahman el-Shirazy), yang disandur dari novel beliau “Dalam Mihrab Cinta” (DMC). 
Talkshow-nya menghadirkan kang Abik (sebagai sutradara) berserta dua pemeran dalam film DMC, yaitu Asmirandah (Silvi) dan Boy Hamzah (Burhan). Meski talkshow-nya bertajuk “Pencerahan & Budaya”, namun sepanjang sesi memang lebih banyak memaparkan tentang film DMC. Pun begitu, tidak juga mengurangi esensi dari judulnya semula.
Kang Abik sendiri menjelaskan bahwa, film merupakan sarana propaganda yang cukup efektif. Sejak pertama kali ditemukan, orang-orang Yahudi sudah memanfaatkannya untuk menyebar propagandanya. Islam hanya “sedikit” terlambat menyadarinya. Alhamdulillah, kini mulai muncul banyak orang yang peduli dan menyadari potensi besar film sebagai propaganda pencerahan Islam.
Film DMC merupakan karya ketiga kang Abik yang diangkat ke layar lebar. Sebelumnya ada Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang waktu itu beliau hanya berperan sebagai penulis. Kemudian dilanjutkan dengan dwilogi Ketika Cinta Bertasbih (KCB) 1 & 2. Di film KCB, kang Abik mulai terjun langsung dan terlibat dalam pembuatan film, termasuk ikut meng-casting para pemerannya. Sedangkan di DMC, kali ini beliau berperan langsung sebagai sutradara di bawah supervisi dari sutradara KCB, Chaerul Umam.
Perjalanan kang Abik di atas menggambarkan sebuah proses dalam pewacanaan budaya Islam lewat propaganda film. Dari yang awalnya kang Abik hanya sebagai penulis, hingga kini menyutradarai sendiri film dari novel beliau. Ini mengingat tidak sedikit kekecewaan dari para fans novel beliau terhadap film yang diangkat dari novel beliau. Terutama saat beliau hanya berperan sebagai penulis semata.
Kang Abik memberi inspirasi untuk jangan lelah belajar. Menamatkan kuliah dari jurusan hadits, Universitas al-Azhar, Mesir, tak menyurutkan semangat kang Abik untuk menekuni dan terjun di dunia sastra. Hingga saat ini, merambah ke dunia perfilman. Tentu terlihat kontradiktif antara latar-belakang dengan pekerjaan beliau saat ini. Tapi kang Abik mengatakan, “Semua ini saya lakukan untuk beribadah kepada Allah. Dan saya tidak takut menulis meskipun isi dari tulisan-tulisan saya bernuansa dakwah Islam”.
(soran ibrahim/bersambung)

4.1.11

PNS = Pelaku_Nya Saya!

Pernah kepikiran buat jadi PNS? Entah kenapa saat ini aku mulai memupuskan impianku tentang jadi PNS atau pegawai negeri saja :). Keluargaku memang beberapa jadi PNS, dan masuk kategori sukses, Alhamdulillah. Sesukses apapun mereka itu, itu juga bukan karena PNSnya. Lebih pada kegigihan dan kerja-keras yang telah dilakukan.
Aku pernah baca sebuah tulisan pendek, isinya secara singkat menyatakan bahwa ngebet jadi PNS hanya karena dengan begitu hidup jadi lebih aman, terjamin, dsb adalah musyrik! (Na'udzubillah). Yup, menyandarkan sesuatu pada selainNya sama saja telah menduakanNya. Dan biasanya kita (kita? elu aja kali gue ga :P) ga sadar telah melakukan itu. Itu udah keluar dari prinsip tawakal.
Aku lebih percaya bahwa rezeki tiap orang itu udah dijatah sama Dia. Ga usah pusing, karena aku tinggal ambil aja. Caranya? Ya berusaha donk, masa mau nunggu uang tiban!? (Ngimpi... wkwkwk). Dan hidup itu ga musti terjamin dengan jadi PNS. Aku sendiri lebih cocok untuk kerja yang menghasilkan karya. Aku ga suka kerja yang statis. Lebih suka yang dinamis. Kerja kantoran, jadi PNS gitu, beh... cape' deh. Rutinitas berulang 5 x 12 jam!
Tapi bukan berarti jadi PNS = harom. Seorang ustadz pernah berkata, jangan berniat jadi Pegawai Pemerintah, tapi bila ada kesempatan yang menghampiri, ambillah. So, maksudnya, kalo kesempatan itu yang mendatangiku, sikat aja! Gak ngebet banget, tapi kalo ditawari ya ayo! Ini bukan munafik, tapi lebih pada melihat kualitas diri. Masa kualitas ecek-ecek mau jadi pegawai pemerintah, apa kata dunia!? (woot)
Aku tumbuh sebagai orang yang lebih suka berkarya. Tau bedanya berkarya dan bekerja. Menurut Syauqi (mantan pinumku dulu), bekerja itu seperti binatang. Kadang hanya asal bergerak, tanpa diiringi berpikir. Disuruh A ya A, diminta B ya B. Sedangkan berkarya itu lebih menggunakan akal dan hati. Dan karena hasrat darah seni yang mengalir dalam nadiku (cie...), maka berkarya lebih tepat untukku. Menghasilkan mahakarya demi mahakarya. Itulah prinsip hidupku. Hidup itu berkarya. Berkarya yang terbaik untuk agama, bangsa, dan keluarga.

Bi'idznillah...