30.7.10

Hidup itu Penuh Pilihan Chui!

Ini adalah seupil kisah hidupku. Yang ntah berapa fragmen lagi. Yang akupun tak tahu akan berakhir di episode ke berapa. Tapi inilah hidupku. Sama seperti hidup kalian. Aku telah menjalani dua dekade dalam hidupku. Dan selama itu pula, aku mulai menyadari sesuatu yang sederhana. Bahwa hidup itu penuh pilihan.
-
Aku akan bercerita tentang bakat/minat dalam gejolak diriku. Almarhum bapakku sebetulnya tau bahwa aku punya bakat unik. Sesuatu yang istimewa. Namun, beliau memiliki ketakutan akan bakatku ini. Adik beliau juga memiliki bakat yang sama. Aku terlahir dengan "darah seni" mengaliri pembuluh darahku. Ada denyut artistik dalam jantung kehidupanku.
-
Bapakku melarang aku menjadi seniman. Baginya seniman itu kotor, jarang mandi, bau lagi. Seniman itu hidupnya tidak beraturan, seenak wudelnya sendiri. Pokoknya segala hal negatif tentang seniman dialamatkan oleh (alm) Bapakku. Tapi beliau tetap bijak melihat potensiku ini. Dia mengarahkanku untuk mengejar impian di arsitektur. Seorang kerabat pernah mengatakan bahwa arsitek itu adalah gabungan dari seni dan sains. Sains, bagi (alm) bapakku adalah penyelamat diriku dari kutukan darah seni.
-
Tapi kemudian beliau sakit, hingga akhirnya wafat. Aku sedih. Bukan karena apa, tapi karena aku tidak mampu memenuhi harapan beliau agar aku menjadi seorang arsitek. Darah seni dalam diriku terus mengalir. Semakin lama, semakin menjadi. Denyut artistik, semakin menggebu. Hingga klimaksnya kutinggalkan kuliahku di jurusan teknik, dan beralih mendalami komunikasi. Aku masih takut untuk menyatakan diri masuk jurusan desain komunikasi visual.
-
Saat aku mengenyam sekolah menengah atas, bakat seni mulai tersalurkan ke arah yang jelas. Setelah sebelumnya berkabut. Sejak kecil aku sudah suka menggambar. Dari menggambar obyek rumah, sampai robotika menjadi favoritku ketika masih kanak-kanak. Di masa puber, aku beralih pada personifikasi manusia, lewat sentuhan gambar ala komik. Aku mulai menggambar teman-temanku sekelas. Hingga di tahun kedua aku SMA, seorang teman mengenalkanku pada dunia desain grafis.
-
Aku sempat terhenti dari aktivitas dengan pensil. Aku beralih mengutak-atik, mengedit gambar di layar komputer. Peranti lunak untuk desain yang pertama kukenal adalah CorelDRAW. Mungkin sangat biasa, klasik, dan ketinggalan. Desainer ternama kebanyakan bergelut dengan Adobe. Bahkan ketika pamanku (adik bapakku) mengetahui hobi baruku ini, beliau juga ikut-ikutan menyuruhku belajar Adobe.
-
Awalnya aku segan, tapi aku terlanjur suka dengan Corel. Lalu saat mendekati lulusan menuju alumni, saat itu adalah saat menegangkan bagi semua siswa tahun terakhir. Mereka akan memutuskan hendak meneruskan ke mana studi mereka berikutnya. Tak terkecuali aku. Temanku sempat mengajakku untuk mendaftar DKV ITB. Tapi Ibuku keberatan kalau aku harus kuliah di luar kota. Mau masuk institut seni lokal, aku takut (katanya ospekannya ngeri, dan ga kebayang teman-temanku nanti kaya' apa, hiiii).
-
Untuk menyenangkan hati ibuku satu-satunya, aku memilih jurusan teknik di salah satu universitas negeri di kotaku. Alhamdulillah aku diterima. Namun euforia kebanggaan itu hanya bertahan dua semester. Setelah itu aku memilih untuk mundur dari dunia eksak, dan banting stir ke dunia sosial. Komunikasi menjadi pilihan studiku berikutnya.
-
Meski belum seideal yang kuinginkan, untuk kuliah di DKV, setidaknya aku tetap belajar tentang desain grafis secara otodidak. Syukur pada Alloh yang banyak memberiku ilham, dan jalan untuk mempelajarinya. Darah seniku ini ternyata bukan kutukan. Tapi ini adalah anugerah dari Tuhanku yang satu. Setidaknya aku bisa memilih, menjadi seorang seniman yang positif. Jauh dari hal-hal negatif yang dikhawatirkan (alm) Bapakku. Menjadi seorang seniman yang Islamik, Orang Muslim yang artistik. Biar kata arsitek melayang, yang penting tetap artistik. Hidup itu penuh pilihan chui!